PEREMPUAN PAPUA DALAM PAGAR : KOLONIALISME (IV)
Perempuan diartikan dengan berbagai keterangan, sesuai dengan realita
dimana perempuan itu berada. Terkadang perempuan diartikan berdasarkan kondisi
fisik, kondisi ekonomi bahkan kondisi lingkungan, hal ini dapat terbentuk
akibat adanya pola budaya yang terbentuk di tempat tersebut. Budaya terbentuk
akibat adanya realita dari situasi di tempat tersebut, sedangkan budaya
dikonstruksi oleh kekuasaan yang ada. Hal ini dapat menjelaskan mengapa realita
perempuan di Palestina, tidak sama dengan perempuan di Inggris, begitu pula
perempuan di Inggris tidak sama dengan perempuan di Venezuela, realita
perempuan di Venezuela, Palestina, Inggris akan berbeda dengan perempuan di
Papua. Memahami posisi perempuan dalam tatanan kehidupan perlu dilihat basis
material dan sejarah perkembangan masyarakat, serta kondisi ekonomi-politik
dunia sehingga dapat menemukan akar permasalahan penindasan terhadap perempuan.
Perempuan di dunia secara umum mengalami ketertindasan yang sama di ruang publik
maupun ruang domestik, ketertindasan ini kemudian perlu diulas lebih jauh akar
permasalahannya. Salah satu komunitas dunia yang mengalami ketertindasan atas
nama moderenisasi adalah masyarakat adat, kemudian Papua merupakan bagian dari
komunitas masyarakat adat. Keberadaan masyarakat adat terancam akibat adanya
interaksi perdagangan. Interaksi perdagangan yang dimaksud disini adalah
perdagangan untuk menghasilkan profit atau keuntungan bagi kelompok tertentu.
Untuk itu mari kita lihat persoalan perempuan Papua :
Perempuan Papua : Kolonialisme Belanda
Awal mula terbentuknya kolonialisme adalah keinginan meluasnya
perdagangan yang besar sehingga adanya akumulasi modal, atau adanya penukaran
barang yang dinilai berharga. Awal terjadinya kolonialisme memang ditelurusi
dilakukan negara-negara di Eropa, untuk mendapatkan barang-barang yang dapat
digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk asesoris maka kolonialisme
adalah salah satu cara untuk membenarkan keberadaan kelompok perdagangan di
suatu daerah. Daerah yang dijadikan sebagai tempat jajahan adalah daerah yang
memiliki sumber daya alam melimpah kemudian kondisi masyarakat tak berkelas
atau masyarakat yang kehidupannya bergantung pada alam, dan kehidupan saling
bekerja sama, kerap kali menjadi tempat yang baik untuk dilakukan penjajahan.
Mayoritas kondisi masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat. Masyarakat
adat biasanya hidup berdampingan dengan batasan suku, sebagai komunitasnya.
Suku memiliki wilayah untuk hidup kemudian memiliki hukum-hukum adat. Hal
inilah yang menjadi peluang penjajah (kepentingan eksploitasi) untuk menduduki
wilayah tersebut. Hal in bisa menjelaskan bagaimana Belanda melakukan
penjajahan (ekspansi wilayah) di wilayah Indonesia, Inggris melakukan
penjajahan di wilayah : Malaysia, Papua Nugini, India, kemudian Spanyol melakukan
penjajahan ke sebagian besar wilayah Amerika latin untuk kepentingan eksploitasi
lahan, ada pula negara-negara di Eropa barat melakukan penjajahan di Afrika.
Penjajahan pada dasarnya untuk kepentingan akumulasi modal melalui perdagangan.
Perdagangan yang dilakukan akan disesuaikan dengan komoditi yang dibutuhkan
dalam selang waktu tertentu sesuai keinginan pasar saat itu. Maka, pada <400
tahun yang lalu bahkan hingga sekarang masih ada perdagangan manusia atau
budak. Hal ini juga menjelaskan bagaimana konidsi yang dapat menjelaskan
penjajahan di Papua barat.
Juli 1828 dengan dua
kapal Triton dan Iris berlabu di sebuah kaki gunung Lamenciri, kapal Triton
yang membawa A.J. Van Delden seorang komisaris utusan belanda di Maluku bersama
kapten let. J.J Stanboom untuk persiapan eksplorasi dan membangun benteng
sebagai bukti sejarah bagi orang Belanda di teluk Triton. 24 Agustus 1828
diresmikan benteng Foor de bush di
teluk Triton, kaki gunung Lamencari (Kaimana)[1]. Saat ini merupakan saat dimana Belanda mulai
datang dan menengok wilayah Papua barat. Pada abad ke- 18 kebutuhan pasar akan
rempah-rempah dan minyak. Hal itu yang menyebabkan keinginan negara-negara-negara
yang memilki pedagang-pedagang handal untuk melakukan ekspansi. Akses Belanda
ke Papua dikarenakan keberadaannya di wilayah Maluku. Maluku yang dekat dengan
pulau dan kepulauan Papua menyebabkan ada pula interaksi antara masyarakat di
wilayah pesisir. Mayoritas wilayah pesisir menjadikan laut sebagai tempat
mendapatkan makanan, maka transportasi laut sangat berkembang saat itu, salah
satu suku dari Papua yang berlayar dan interaksi keluar wilayah adatnya adalah
suku Byak.
Suku Byak melakukan
pelayaran ke luar kampungnya untuk mendapatkan makan atau karena konflik di
wilayahnya, hal ini yang menjawab mengapa banyak keberadaan suku Byak di
wilayah Manukwar, wilayah Jayapura, kepulauan Rajampat, dan berbagai wilayah
lainnya. Pulau Byak juga merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan
transportasi laut di wilayah pasifik. Sehingga, interaksi ini membuat pulau
Byak dijadikan sebuah tempat berlabuh, juga pada tahun 1940-an pulau Byak
dijadikan tempat pertahanan fasis Jepang untuk melawan Amerika serikat. Pecahnya
perang Dunia ke –II, menjadikan fasis Jepang saat itu menduduki paksa
kepulauan-kepulauan di Byak, akibatnya adanya perlawanan dari Angganita
Manufandu yaitu perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pengusiran terhadap
penjajahan di wilayahnya, ada pula perempuan-perempuan yang turut melawan pada
saat itu namun secara tertulis belum diketahui namanya.
Jayapura menjadi
tempat berlabuh untuk kepentingan ekonomi, pengangkutan barang mentah dan
administrasi Belanda, kondisi masyarakat khususnya perempuan di Port Numbay
(Jayapura) berbeda dengan wilayah lainnya, Belanda banyak melakukan
pelatihan-pelatihan di bidang khusus dan pelayanan-pelayanan kesehatan,
pendidikan dsb. Kebanyakan pelayanan ini juga melibatkan perempuan, banyak
perempuan-perempuan diperkerjakan di perkantoran, maupun di bina untuk perawat.
Hal ini berbeda jauh dengan Java (pulau Jawa) atau Maluku karena pendekatan di
Papua, Belanda melakukannya dengan pendekatan keagamaan. Di balik itu
pemerintahan Belanda pula melakukan eksplorasi-eksplorasi di wilayah Papua,
eksplorasi untuk kepentingan pembagian wilayah dan sumber daya alam, jelas
merupakan watak kolonial. Tercatat sejak 1990 hingga 1930 telah dilakukan lebih
dari 140 eksplorasi. Salah satu penemuan berharga yang dilakukan Belanda pada
tahun 1920-an adalah penemuan gunung Nemangkawi atau kini (2019) dikenal dengan
wilayah eksploitasi tambang PT. Freeport dan tambang-tambang kecil lainnnya.
Pada tahun 1990-an eksplorasi dilakukan karena kebutuhan minyak menjadi
kebutuhan pasar dunia saat itu. Eksplorasi dilakukan melalui udara dan air,
pada saat eksplorasi dilakukan kebanyakan wilayah-wilayah yang ditempati
beberapa suku seperti suku Mee masih memiliki kehidupan perdagangan berupa
barter untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, begitu pula masyarakat yang hidup
di kaki gunung Nemangkawi, kehidupan berdampingan. Pada saat itu gunung
Nemangkawi dilihat sebagai salah satu keindahan alam sebab memiliki alam yang
asri dan di puncak gunung diselimuti salju abadi, hingga dibuktikan oleh geolog
yang datang dan menemukan keberadaan material tambang. Pada tahun 1920-an
keperluan tambang tidak diminati sebab tambang tidak bisa menjalankan
mesin-mesin, setelah revolusi Industri di wilayah Eropa barat. Setelah perang
dunia II kebutuhkan pasar dunia akan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang
untuk keperluan pembuatan senjata dan alat-alat teknologi semakin tinggi, maka
arsip yang dimiliki Belanda pada tahun 1920-an tentu menjadi berguna di tahun
1940-an. 1935 Pemodal-pemodal asal Belanda, Inggris dan Jerman sempat melakukan
penyatuan modal untuk mendirikan perusaahan minyak yang bernama ‘Netherland
Nieuw Guinea Petroleum Maatshappij (NNGPM) di wilayah Domberai, Papua, untuk
menjawab kebutuhan pasar dunia akan minyak bumi. Inilah kerja-kerja kolonial, melakukan
penjajahan atas kepentingan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan kemudian
memperoleh keuntungan.
Kejahatan kolonial
Belanda ditutupi dengan program-program keagaamaan untuk pelayanan-pelayanan,
maka saat itu rakyat Papua kemudian susah melihat Belanda sebagai penjajah,
apalagi saat Belanda menduduki Papua, belanda hanya melakukan eksplorasi.
Hingga perang dunia II usai 1945 kemudian adanya organisasi-organisasi dunia
yang melihat pentingan pembangunan Hak Asasi Manusia, pentingnya melepaskan
wilayah-wilayah jajahan, hal ini tetap tidak terlepas dari kebutuhan pasar
untuk mendapatkan bahan-bahan mentah.
Setelah perang dunia
II perempuanlah yang diandalkan menjadi tenaga produktif untuk mengembalikan
situasi setelah Perang, karena kaum laki-laki dijadikan gerilya-gerilya untuk
perang. Perempuan mengalami penindasan akibat adanya eksploitasi yang
mengharuskan perempuan bekerja lebih banyak (beban ganda). Bayangkan saja
situasi di Papua, menjadi tempat penjajahan Belanda kemudian menjadi tempat
sementara Jepang dalam melaksanakan perang, situasi trauma juga situasi
kelaparan. Setelah perang perempuan mencoba kembali melakukan aktivitas seperti
biasa, kemudian Belanda didesak meninggalkan Papua, kemudian dilanjutkan dengan
penjajahan Indonesia.
Perempuan Papua : kolonialisme Indonesia
Sumber :
Alua, A., Papua dari pangkuan ke pangkuan.,
Pigai N.D., Evolusi Nasionalisme dan sejarah
konflik politik di Papua, 2000.,
Anonim., Papua Voice Film ‘ Surat cinta kepada
sang prada’
Tidak ada komentar