Perempuan Papua dalam Pagar : Imperialisme dan kolonialisme (V)
‘Proyek Neoliberalisme berwujud Otonomi khusus di Papua’
Oleh.
Cinta G
Dok. Michael maran
Perempuan
Papua harus terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional papua barat.
Perjuangan pembebasan nasional Papua barat yang sesungguhnya adalah perlawanan
melawan kelas penguasa untuk merebut kembali tanah, udara, air demi terciptanya kehidupan tanpa kelas.
-Anonim pribadi-
7 Januari 2021 Petisi Rakyat
Papua (PRP) telah mengumumkan 654.561 suara rakyat Papua (usia >17 tahun)
telah terkumpul. Lebih dari 600 ribu suara ini memberikan cap jempolnya sebagai
bukti fisik bahwa rakyat Papua menolak otonomi khusus jilid II dan rakyat Papua
siap menentukan nasibnya sendiri. Organisasi rakyat yang bergabung bersama PRP
berjumlah 102 organisasi yang berasal dari gerakan sosial, adat, agama, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), perempuan, pemuda dan mahasiswa serta individu. [1]
Petisi rakyat papua menjadi wadah persatuan bersama yang terbentuk
dalam negeri, sebagai respon terhadap manufer pemerintah Kolonial Indonesia
yang terus meloloskan program-program yang tidak berpihak terhadap rakyat
Papua. PRP bukanlah satu-satunya wadah persatuan yang membawa aspirasi politik
yang pernah terbentuk dalam negri. Rakyat papua dengan situasi penindasan yang
berbeda telah terus berdialektika untuk bersatu melawan kolonialisme Indonesia.
Keterlibatan gerakan/individu Perempuan dalam wadah persatuan yang
pernah dibentuk merupakan bukti kesadaran progresif dalam perjuangan pembebasan
nasional. Hal ini menjadi penting
dibahas secara khusus, sebab penindasan yang sedang terjadi di Papua, menempatkan
kaum perempuan sebagai korban penindasan berlapis.
Artikel ini akan mengulas kepentingan kapitalis global (imperialisme)
terhadap tanah, manusia Papua, dan kebijakan-kebijakan yang membuktikan eksploitasi
oleh imperialis serta dampaknya terhadap kehidupan sosial Perempuan Papua.
Apa itu
Imperilisme dan kebijakan neoliberalisme?
Imperialisme merupakan paham yang berwujud pada kebijakan internasional
yang berpihak pada kepentingan kelas penindas (kapital). Imperilisme merupakan
tahapan lebih tinggi dari kapitalisme. Hal yang menjadi khusus dari imperialisme
adalah adanya aktivitas monopoli modal, berbeda dengan kapitalisme secara umum
yang mendorong adanya persaingan modal. Perubahan corak produksi, terjadi
akibat adanya krisis ekonomi, krisis kemanusian yang menyebabkan gejolak
perlawanan rakyat sehingga kapitalisme harus mengubah bentuknya.[2]
Defenisi Kautsky adalah Imperialisme adalah sebuah produk dari
kapitalisme Industrial yang sangat maju. Imperialisme adalah harta dari setiap
negara kapitalis industrial untuk mengendalikan atau menjajah semua
daerah-daerah agraria luas (penekanan dari kautsky), tidak peduli negara mana
yang didudukinya.[3]
Kedua defenisi diatas memberikan gambaran bagaimana aktivitas imperialisme
melampaui sistem kenegaraan. Sejak tahun 1700-an ketika Industrialisasi di Eropa
barat khususnya Inggris mulai berkembang Adam Smith menawarkan ide tentang
liberalisme sebagai paham yang akan menawarkan kebebasan individu, kesetaraan,
dan jaminan persaingan bebas, hal ini dikenal dengan liberalisme klasik. Ide dari
Adam smith ini dilahirkan pada situasi lahirnya kapitalisme di Eropa setelah
sistem feodalisme. Paham ini sangat disambut baik oleh pedagang-pedagang atau
kelompok kapital yang memiliki modal (uang/tanah), yang tidak berdaya dalam
sistem kerajaan. Sistem kerajaan membuat pedagang-pedagang tidak bebas
memperoleh keuntungan, karena keberadaan mereka diawasi oleh keamanan milik
raja. Kondisi objektif ini yang mendorong lahirnya negara sebagai sebuah
alternatif wadah selain kerajaan.
Perkembangan masyarakat dunia terus terjadi. Basis penindasan dari
corak produksi kapitalisme terus membentuk realita baru di masyarakat.
Perkembangan masyarakat juga membentuk kesadaran politik secara alamiah di
komunitas masyarakat. Pertentangan ide
–ide progresif terkait kelas, pada prakteknya menyebabkan perang dunia, sebagai
bentuk perebutan wilayah kekuasaan, juga penyebaran paham masyarakat tanpa
kelas (komunisme) dan masyarakat dengan kelas (kapitalisme). Runtuhnya negara
soviet di Rusia (1991) menjadi peluang besar pada paham liberalisme klasik yang
merubah polanya menjadi neoliberalisme.
Gagasan neoliberalisme lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi
badan usaha milik negara campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar
internasional yang lebih terbuka. Namun, berbeda dengan liberalisme klasik yang
diperkenalkan oleh Adam Smith dan David Richardo, neoliberalisme merupakan
kebijakan ekonomi dari pada sekedar sebuah perspektif ekonomi politik. Dapat
dilihat lebih cermat penjelasan selanjutnya untuk menjelaskan defenisi
tersebut.
a.
Perkembangan Pemikiran liberalisme.
Gagasan neoliberalisme berakar pada tradisi pemikiran liberal yang
menempatkan individualisme, rasionalitas, kebebasan dan kesetaraan sebagai
nilai-nilai yang paling mendasar.
Asumsi-asumsi dasar liberalisme[4]
1.Individualisme: manusia sebagai Individu merupakan hal yang paling
mendasar, karena hakekatnya manusia merupakan makhluk yang penuh damai dan
mempunyai kemauan bekerja sama, kompetitif secara konstruktif dan rasional.
2.Equality: setiap individu lahir setara, namun setiap individu
mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda, sehingga setiap orang
memiliki kesempatan untuk mewujudkan potensi mereka masing-masing.
3. kebebasan: Individu untuk mencapai apa yang terbaik bagi dirinya
perlu mendapat jaminan kebebasan individu, tersebut dijamin melalui mekanisme
pasar (invisible hand –Adam Smith)
4. Peran negara minimalis: peran Negara yang kuat dan aktif dapat
mengancam kebebasan individu karenanya campur tangan Negara dalam pasar akan
merugikan masyarakat. Kaum liberal memandang ketegangan mutlak antara negara
dan pasar merupakan konflik antara penindasan dan kebebasan, kekuasaan dan hak
individu, dogma, otokritik dan logika rasional.
b.
Perkembangan neoliberalisme,
Stagflasi yang melanda dunia pada tahun 1970-an meruntuhkan
asumsi-asumsi sosialisme demokrasi yang diusung oleh Keynes. Kristis yang
terjadi ditengarai muncul akibat dari intervensi negara yang terlalu jauh dalam
urusan ekonomi. Intervensi yang sedianya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan
sosial justru telah menimbulkan inefisiensi dan menyebabkan krisis. Kondisi
seperti ini, para pemikir liberal berupaya mengembalikan doktrin liberalisme
klasik ala Adam Smith dan David Ricardo yang percaya unregulated market
akan meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan dan menghasilkan
kemakmuran global. Meskipun demikian, kebangkitan pemikiran liberalisme klasik
atau kemudian dikenal sebagai neoliberalisme memiliki sejumlah perbedaan
mendasar dengan liberalisme klasik. Liberalisme klasik ala Adam Smith menentang
bentuk-bentuk monopoli baik oleh negara maupun kelompok bisnis, namun dalam
pandangan liberalisme klasik peran negara tetap dibutuhkan terutama untuk
menciptakan lingkungan yang dapat menjamin hak-hak individu, sementara
neoliberalisme berada pada posisi yang lebih mencurangi yaitu monopoli modal,
kemudian neoliberalisme menempatkan peran dan kekuasaan negara perlu dikontrol
oleh pemilik modal.
c.
Resep kebijakan Washington Consensus
Gagasan-gagasan neoliberalisme sebagaimana di Inggris dan AS serta yang
diadopsi dalam sejumlah kebijakan lembaga ekonomi Internasional tersebut
dikemas dalam resep yang dibuat oleh John Wiliamson (1993):
1.
Price decontrol:
penghapusan kontrol atas harga komoditi faktor produksi dan mata uang
2.
Fiscal discipline:
pengurangan defesit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa
dibiyai tanpa memakai inflationary financing.
3.
Public expenditure priotities: pengurangan belanja pemerintah dan pengalihan belanja dari
bidang-bidang yang secara politik sensitif, seperti administrasi pemerintahan,
pertahanan, subsidi yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke
pembiayaan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan.
4.
Tax reform: perluasan basis
perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam intensif bagi
pembayar pajak, pengurangan dan manipulasi aturan pajak, dan pengenaan pajak
pada aset yang ditaruh di luar negeri
5.
Financial liberalization: tujuan jangka pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat
bunga bank khususnya bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga bank
berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
6.
Exchange rates: untuk
meningkatkan ekspor dengan cepat Negara-negara berkembang memerlukan tingkat
nilai tukar mata uang yang tunggal dan kompetitif.
7.
Rade liberalization: pembatasan perdagangan luar negara melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif)
harus diganti tarif (bea cukai) dan secara progresif mengurangi tarif sehingga
mencapai tingkat rendah dan seragam (kira-kira 10-20%)
8.
Domestic savings:
penerapan disiplin fiscal/APBN, pengurangan belanja pemerintah, reformasi
perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa
dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat
tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingannya
tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi secara tepat.
9.
Foreign direct investment: penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahan asing. Perusahaan
asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara: tidak
boleh ada pilih-kasih
10.
Privatization: Perusahan negara harus
diswastakan
11.
Deregulation: penghapusan peraturan
yang menghalangi masuknya perusahan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan
membatasi persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan
lingkungan hidup mengaruskan pembatasan itu
12.
Property rights:
Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik tanah,
kapital dan bangunan.
Penjelasan tentang kebijakan neoliberalisme diatas menunjukan bahwa
kebijakan ini tumbuh subur di dunia pada tahun 1990-an, sebagai alternatif
untuk mempertahankan kapitalisme.
d. Kebijakan
Neoliberalisme di Indonesia.
*Tahun
1998 terjadi krisis kapitalisme,
Indonesia mengalami krisis ekonomi karena, naiknya harga dollar
amerika. Gerak rakyat Indonesia melawan sistem kelas penguasa dilakukan untuk
meruntuhkan sistem kapitalisme yang dianut oleh negara ini, namun kelompok
borjuis cepat menanggapi hal ini dengan menurunkan Soeharto, sehingga kelompok
borjuis menguasai pemerintahan. Akibat krisis kapitalisme ini ada perlawanan
masyarakat yang menyebabkan pembebasan nasional Timor-timor (Wilayah jajahan
Indonesia). Semangat rakyat Papua dalam situasi perlawanan ini, menyebabkan
bangkitnya perlawanan rakyat papua yang dibungkam sejak 1961, kemudian merespon
kondisi krisis dengan menyatakan sikap politiknya untuk keluar dari bingkai
NKRI namun kenyataanya dengan tipu muslihat dan pembunuhan tokoh-tokoh karismatik
Papua kemudian lahirlah undang-undangan otonomi khusus, yang menjadi
perpanjangan tangan kebijakan neoliberalisme serta memperpanjang kolonislisme
Indonesia di Papua.
Otonomi khusus dalam perspektif negara memberikan perlindungan
masyarakat adat Papua seluruhnya dengan pemberian uang, bertujuan untuk pembangunan.
Kerangka berpikir negara Indonesia (baca: penjajah):
-pembangunan bisa terwujud bila wilayah dibagi-bagi wilayahnya menjadi
lebih kecil melalui mekanisme pemekaran-
Hal inilah yang menjadi dasar perpecahan wilayah adat dan atau
masyarakat adat di Papua. Otonomi khusus merupakan kebijakan negara untuk
membatasi hak demokrasi rakyat Papua. Otonomi khusus disahkan pada 2001 setelah
dialog Jakarta-Papua, setelah tendensi perlawanan rakyat Papua atas penjajahan
Indonesia semakin besar.
Otonomi khusus tidak memberikan manfaat bagi rakyat Papua, justru
mempercepat perampasan tanah adat (ekosida), pemiskinan, peminggiran hak hidup,
kehilangan atribut atau identitas budaya (etnosida) dan penghilangan ras/suku
(genosida). Perampasan tanah adat (ekosida) dengan mudah terjadi akibat, izin
usaha perkebunan atau eksploitasi dikontrol oleh negara. Pemekaran wilayah
justru menjadi pintu masuk investasi/perusahaan. Transmigrasi menjadi program
unggul setelah pembelakuan otonomi khusus, karena kebanyakan orang Papua tidak
terbiasa dengan penggunaan uang dan penyimpanan uang untuk kepentingan usaha.
Kebanyakan transmigrasi berdatangan untuk mendapatkan pekerjaan dan tempat
hidup yang lebih baik karena wilayah mereka datang tidak menjamin kesejahteraan.
Adanya Transmigrasi
menghambat perkembangan masyarakat asli Papua. Terjadi tubrukan budaya yang
mengakibatkan kehilangan ciri khas orang Papua (etnosida). Perubahan budaya
masyarakat Papua menyebabkan kesulitan dalam bertahan hidup juga bersaing, sehingga
yang terjadi marginalisasi kehidupannya dari aktivitas produksi sehari-hari.
Otonomi Khusus juga mengundang militer Indonesia untuk datang dan turut
menyerap dana otsus. Beberapa kali ekskalasi konflik menjadi ladang bisnis
keamanan bagi militer Indonesia. Terbukti bahkan di era otsus terjadi
perdagangan senjata dari anggota polisi kepada rakyat.
*Tahun
2008 terjadi krisis kapitalisme.
"Fundamental ekonomi Indonesia sangat
rapuh. Hal ini bisa terjadi karena beberapa penyebab bentuknya bagaikan
piramida sosial. Puncaknya sekelompok kecil pengusaha besar, pengusaha asing
dan BUMN yang menguasai sekitar 90% ekonomi nasional. Sedangkan pengusaha
mikro, kecil menengah dan koperasi (ekonomi kerakyatan) yang jumlahnya sangat
banyak, hanya menguasai sangat kecil ekonomi nasional, kemudian pembangunan
makro ekonomi kita tidak memberikan dampak positif terhadap pembangunan mikro
ekonomi," ujar Sutiyoso menanggapi terjadinya gejolak keuangan.[5]
Pernyataan diatas mengkonfirmasi konsentrasi
kekayaan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang yaitu kapital lokal, modal
tersebut berasal dari kapital global yang menitipkan uangnya. Khususnya di
Indonesia, kapital lokal tidak memiliki modal cukup besar untuk melakukan akumulasi
modal, maka kapital lokal melakukan peminjaman modal dari agen imperialis untuk
melakukan aktivitas produksi. Produksi yang berlebih dan tidak sesuai kebutuhan
masyarakat menjadi over production di
masyarakat. Kelebihan produksi menyebabkan tidak lakunya produk tersebut di
pasar, sehingga terjadi kerugian. Kebijakan Neoliberalisme yang dasarnya
monopoli pasar dan modal menyebabkan pemodal yang lebih kecil mengalami
kerugian, sedangkan pemodal besar terus memperkaya dirinya.
Respon negara terhadap krisis Kapitalisme di
2008 adalah dengan membentuk kebijakan baru, yang bertujuan untuk melakukan
eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang lebih luas. Proyek tersebut
disebut Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3I). Proyek ini membagi
Indonesia sesuai dengan potensi sumber daya alamnya. Proyek ini juga memberikan
beasiswa bagi masyarakat di daearah terpencil untuk melanjutkan kuliah,
tujuannya adalah menciptakan buruh-buruh yang handal agar kelak dapat bekerja
pada industri-indistri yang ada.
Adapun pola pikir MP3I:
Pengembangan
MP3EI dilakukan dengan pendekatan breakthrough
yang didasari oleh semangat dan pola pikir (Mindset)
“Not Business As Usual”. Perubahan
pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan
kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan
Swasta melalui skema Public- Private
Partnership (PPP)[6] . Pihak swasta akan
diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam
peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah
akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi
regulasi, pemerintah akan melakukan debottlenecking
terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan
katalisasi akan diberikan oleh pemerintah melalui penyediaan infrastruktur
maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal. Selain itu, untuk mempercepat
implementasi MP3EI, dikembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya
oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran pemerintah
adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi
dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara
paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif)
pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya,
sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Perlakuan khusus diberikan agar dunia
usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat pertumbuhan
ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
membangun linkage semaksimal mungkin
untuk mendorong pembangunan daerah sekitar pusat pertumbuhan ekonomi.[7]
Jelas pola pikir MP3I memenuhi resep kebijakan neoliberalisme yang dibuat
oleh John Wiliamson (1993).
Gambar 1.1 Pembagian
wilayah berdasarkan rencana pembangunan (dok. Google)
Gambar 1.1 menunjukkan pengembangan koridor ekonomi Indonesia dibagi
menjadi 6 koridor, yang disesuaikan dengan pembagian Indonesia barat, tengah dan
timur. Dapat dilihat bagaimana koridor Jawa dijadikan pendorong industri dan
jasa nasional atau pabrik manukfaktur (pengelolaan barang mentah menjadi barang
setengah jadi atau jadi), dan penyedia jasa kesehatan dan pendidikan, sedangkan
wilayah lainnya di Indonesia menjadi pusat penyedia bahan mentah. Proyek ini
bertujuan untuk menciptakan pola ketergantungan pada pulau Jawa. Bahan mentah
di wilayah harus dikirim ke Jawa untuk diolah menjadi produk kemudian di jual
kembali ke daerah dengan harga yang lebih besar, ada pula produk yang dijual ke
pasaran internasional.
Contohnya beras, ketergantungan orang asli papua mengkonsumsi beras
terjadi setelah krisis kapitalisme di tahun 1980-an sehingga rezim soeharto
mengkampanyekan program berantas kemiskinan, “4 sehat, 5 sempurna” sebagai
standar hidup masyarakat Indonesia, di dalamnya ada keharusan untuk
mengkonsumsi nasi, kemudian lahirlah program ‘raskin’ atau beras untuk orang
miskin. Seakan-akan orang asli Papua tidak bisa hidup dengan ubi jalar,
singkong dan sagu. Hal ini benar-benar menghegemoni pikiran masyarakat Papua.
Aspek pendidikan, sekolah-sekolah di pulau Jawa lebih banyak dan secara
kurikulum lebih baik serta fasilitas lengkap dibandingkan di daerah, apalagi di
Papua. Contohnya di Jawa memiliki ratusan perguruan tinggi sedangkan di Papua
hanya puluhan, sehingga kebanyakan mahasiswa akan datang ke Jawa, untuk
melanjutkan sekolah. Pendidikan di Jawa tidak gratis, sehingga dapat
dibayangkan, seorang mahasiswa yang berasal dari Papua berkuliah di Jawa sedangkan
keluarganya yang membiayainya tinggal di Papua. Uang yang berasal dari Bank
Indonesia yang terletak di pulau Jawa, akan dikirim ke Papua, kemudian uang
yang diperoleh oleh orang tua siswa/mahasiswa akan mengirimkan uang tersebut ke
anaknya yang berada di Jawa, untuk kehidupannya sehingga perputaran uang dan
pertumbuhan ekonomi hanya akan mempercepat masyarakat di Jawa. Berbeda dengan
Papua, semakin hari kian terpuruk dengan kondisi pelanggaran HAM. Belum lagi
kondisi mahasiswa Papua yang berkuliah atau sekolah di Jawa mengalami
diskriminasi rasial yang kronis. Akses tempat tinggal, di ruang pendidikan,
peluang kerja sangat sulit di Jawa. Sedangkan hal ini berbalik dengan Papua
justru akses transmigrasi terbuka luas, tujuannya adalah untuk memperbanyak
tenaga kerja dengan upah minimum sehingga penyedia jasa atau perusahaan
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
-Krisis Kapitalisme 2020
Covid-19 menyebabkan sistem ekonomi dunia menjadi terganggu, banyak
perusahan harus menjual asset/modal mereka karena terganggunnya aktivitas
produksi. Aktivitas produksi terhambat juga karena adanya pembatasan sosial
berskala besar atau disebut lock down, hal ini menyebabkan negara-negara
penganut sistem kapitalisme mengalami krisis kemanusiaan (kesehatan,
pendididkan, politik, ekonomi, budaya dan sipil).
Salah satu respon yang dilakukan Bank Indonesia pada Maret 2020 dalam
menyikapi ambruknya sistem ekonomi dunia adalah mengeluarkan lima kebijakan
baru untuk mempertahankan sistem kapitalisme. Berikut lima kebijakan tersebut: [8]
1)
Meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan;
2)
Menurunkan Giro Wajib Minimum (GMW) valas dari 8% terhadap DPK menjadi 4% DPK;
3)
Menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps khusus kepada bank yang melakukan kegiatan
ekspor-impor;
4)
Memperluas jenis dan cakupan underlying investor
asing di dalam melakukan lindung nilai;
5) Memfasilitasi investor global untuk
menggunakan bank kustodi baik global maupun domestik dalam melakukan kegiatan
investasi di Indonesia
Kebijakan yang diambil Bank Indonesia benar-benar memenuhi resep
kebijakan neoliberalisme yang dibuat oleh John Wiliamson (1993). Kebijakan BI
ini untuk melindungi aktivitas pemodal kemudian negara mengambil kebijakan
untuk mensahkan undang-undang Omnibusman law yang jelas-jelas memberikan
keuntungan bagi kapital untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Pada umumnya negara Indonesia masih menganut sistem kapitalisme
sehingga produk undang-undang yang dibuat adalah perpanjangan tangan dari sistem
tersebut. Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil negara sejak 2019
yaitu rancangan undang-undangan omnibusman law, MP3I (2011),
bahkan Otonomi khusus (2001) untuk Papua merupakan kebijakan yang menggunakan
resep neoliberalisme yaitu melakukan monopoli modal (tanah/uang/asset/jasa
dsb).
Alternatif politik
yang harus dilakukan adalah bangun kekuatan rakyat yang anti kapitalisme,
bangun persatuan akar rumput untuk menghancurkan sistem kebudayaan penindas
yang menghegemoni rakyat, dan bangun solidaritas sesama rakyat tertindas tanpa
memandang suku, ras, orientasi seksual dan agama. Hanya dengan kesadaran akan
musuh bersama dan tindakan kerja bersama yang mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang lebih baik.
Neoliberalisme
: Otonomi Khusus membunuh Perempuan Papua
“Setiap hari ada saja orang Papua yang meninggal dari rumah sakit ini,
rata-rata 7 orang meninggal dalam sehari, itupun 4 orang adalah orang asli papua.”
–Anonim, seorang sopir jenazah di salah satu rumah sakit (RS) milik pemerintah
di Provinsi Papua.
Ungkapan ini mencerminkan kekhawatiran akan masa depan populasi
masyarakat asli Papua di Tanah Papua. Wawancara ini dilakukan pada Desember
2020 seorang sopir jenazah, ini mengaku telah bekerja selama 15 tahun di rumah
sakit tersebut. Dia mengaku bahwa adanya COVID-19 ataupun tidak tetap angka
kematian orang asli papua (OAP) meningkat.
Papua sedang mengalami krisis kemanusiaan, contohnya di kota Jayapura,
sejak 2017./2018 peredaran minuman keras
semakin merajalela, penjualan di sepanjang jalan Entrop, Pasar lama Abepura,
Perumnas Dua Waena, Expo, dsb. Penjual minuman berdiri di sepanjang jalan dan
menawarkan minuman dengan berbagai label. Pihak kepolisian seakan menutup mata
dengan kondisi ini. Akses yang mudah untuk pembelian minuman keras membuat
tidak sedikit orang papua mengkonsumsi minuman keras. Tingkat kematian akibat
kecelakaan yang disebabkan berkendara dalam keadaan miras juga tinggi atau
meninggal karena keracunan minuman, serta penyakit kronis lainnya akibat
keseringan meminum-minuman keras. Secara umum tempat lokalisasi (prosititusi) telah
ditutup di Jayapura, namun pekerja seks komersial masih tetap menawarkan jasa
seks tanpa pengawasan negara. Hal ini juga berbahaya bagi hak-hak perempuan
yang bekerja sebagai PSK, karena secara komunitas tidak dilindungi keamanan,
kesehatan dan perlindungan lainnya.
Monopoli tanah yang dilakukan sejak otsus papua berlaku hingga kini
semakin parah. Tanah tempat Perempuan papua mencari makan dan keberlangsungan
hidup lainnya dijadikan lahan kelapa sawit, dijadikan lahan pertambangan,
dijadikan lahan pembangunan pangkalan militer, dijadikan perumahan sewa, dsb.
Hal ini secara langsung memperngaruhi psikis dan keberlanjutan hidup masyarakat
Papua, khususnya perempuan.
*Penindasan
Perempuan Papua secara internal
Perempuan papua mengalami penindasan berlapis, hal ini dibuktikan
dengan kondisi perkembangan masyarakat Papua yang terhambat akibat adanya
interaksi dengan bangsa asing. Menurut Marx dan Engels bahwa sejarah
perkembangan masyarakat di dunia melalui tahap: kebuasan-> komunal primitif
-> perbudakan -> feodalisme -> kapitalisme -> komunal modern.
Perdebatan tentang corak produksi masyarakat Papua memang belum
selesai, hanya saja jika dilihat dari realitas kehidupan saat ini, memang
secara internal masyarakat Papua dalam tahapan perkembangan masyarakat komunal
primitif. Dalam kehidupan komunal primitif terjadi perubahan-perubahan dalam
komunitas yang menyebabkan perubahan kerja yang mempengaruhi perubahan budaya.
Budaya yang berdampak adalah dalam pembagian peran kerja di
komunitas/suku/marga/klan. Hal ini juga berdampak pada pembagian kerja
perempuan Papua. Perempuan pada umumnya bekerja di ranah domestik kemudian ada
pula tanggungjawab membuat kebun dan beternak dsb. Penindasan tersebut juga
berlanjut misalnya hak atau kepemilikan anak diwariskan secara patrilinear,
atau garis keturunan laki-laki. Sedangkan pada kenyataanya kehidupan anak sejak
kecil hingga remaja biasanya diatur oleh kelompok Perempuan. Sistem budaya ini
semakin parah penerapannya pada era kapitalisme.
Perdebatan juga terkait poligami, beberapa suku di Papua laki-laki di
perkenankan poligami bila memiliki harta/kekayaan yang melimpah. Misalnya
tanah, peternakan dsb kemudian laki-laki tersebut dapat melakukan poligami
dengan tujuan perempuan sebagai tenaga produksi, juga perempuan dapat
melahirkan anak yang akan menjadi tenaga produksi baru untuk menjaga kekayaan
laki-laki tersebut. Kondisi ini jelas terbentuk kelas sosial dalam masyarakat.
Sistem patriliner juga turut mendiskriminasi posisi Perempuan yang mana
keluarga akan lebih menghargai jika seorang perempuan yang telah kawin dapat
melahirkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sistem kepemimpinan adat
kebanyakan didominasi oleh laki-laki, sistem seperti ini justru menghancurkan
perkembangan masyarakat Papua secara internal. Kondisi ini diperparah dengan
sistem kapitalisme.
*Penindasan
Perempuan Papua secara internal
Perubahan masyarakat Papua terjadi ketika pendudukan Belanda di Papua
(1800-an), dilain sisi pada tahun demikan kapitalisme telah lahir di Eropa,
sehingga agenda besar penjajahan Belanda di Papua adalah untuk ekspansi
kapitalisme. Perkembangan masyarakat dari corak produksi komunal primitif
berubah menjadi kapitalisme. Dapat dilihat bagaimana belanda mengajarkan orang
asli Papua untuk berpakaian, bekerja di sistem administrasi, birokrasi,
menyembah Tuhan (melalui agama samawi), dsb. Hal ini jelas mengikis kebiasaan
adat dan hubungan produksi masyarakat Papua dengan alam. Ketika hubungan
produksi manusia dengan alam terputus maka yang terjadi adalah ketergantungan
hidup terhadap negara, sedangkan Belanda menganut sistem kapitalisme.
Gambar 1.2 Perempuan Papua bekerja meginvetarisasi
buku (dok. Facebook (Sejarah Papua))
Gambar 1.2 menunjukkan bagaimana perempuan papua
memakai baju seperti orang Eropa, kemudian bekerja di ruangan dan mendapatkan
upah. Upah tersebut akan digunakan untuk membeli kebutuhan primer, baju dsb.
Berbeda bila perempuan papua berkebun dan mencari makan di hutan, justru tidak
akan dibatasi dengan politik upah.
Kondisi ini diperparah dengan ekspansi militer
Indonesia di Papua, pemerkosaan, perampasan tanah marak terjadi di Papua.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dihindarkan,
kekerasan budaya, rasisme terus terjadi di Papua.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dilihat secara
netral, negara bertanggungjawab atas KDRT yang terjadi terhadap masyarakatnya,
KDRT merupakan budaya penindas, yang mengeksploitasi dan membungkam. KDRT
sering terjadi lantaran biaya hidup yang tinggi, sehingga menimbulkan
perselingkuhan, kekayaan yang berlebih sehingga menimbulkan poligami atau
perselingkuhan, dsb. Terbukti penelitian yang dilakukan oleh LIPI dan ICP pada
tahun 2012 wawancara terhadap 1700 perempuan papua ditemukan bahwa mereka
memiliki pengalaman KDRT, ketika ditanyai terkait upaya pelaporan ke kepolisian
justru penyitas takut, karena pelaku kekerasan justru bersalah dari tubuh
militer Indonesia.
Kekerasan militer terhadap perempuan Papua terbukti
mengekploitasi dan membunuh, lebih lengkap dalam tulisan di https://korankejora.blogspot.com/2020/09/indonesia-kekerasan-seksual-dibalik.html.
Kebijakan neoliberalisme mempropagandakan kebebasan
individu, sehingga korelasinya adalah kebebasan untuk memilih produk yang
diciptakan kapitalisme.
Menarik bila kita membahas tentang standar kecantikan
di Papua. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, maka rasisme juga lahir
sebagai cara untuk mendapatkan tenaga produktif yang murah dan banyak. bahkan
setelah rasisme politik upah dibedakan berdasarkan jenis kelamin atau seksisme.
Hal ini memang menempatkan orang kulit gelap seperti orang asli papua
didiskriminasi dalam hal pekerjaan. Hegemoni itu terbukti dengan mengatakan
“orang papua yang cerdas”, “orang papua yang mahir berbahasa Indonesia”, “orang
pante lebih pandai dibandingkan orang gunung”, ini semua adalah stigma yang
dibentuk untuk tujuan perpecahan atau adu domba sesama rakyat yang sedang
dijajah. Bahkan ini merambat ke rakyat Indonesia agar menghambat solidaritas
antar rakyat tertindas.
Stigma bahwa perempuan papua tidak mampu bekerja di
ranah publik, sehingga kebanyakan perempuan papua menjadi Ibu rumah tangga atau
berkebun dan menjual hasil kebun di Pasar (mama-mama pasar).
Realitas
penindasan Perempuan di Papua
Perkembangan masyarakat Papua
memang sangat diperngaruhi oleh dua faktor, yakni faktor intenal dan eksternal.
Faktor Internal berkaitan dengan bagaimana aktivitas produksi (kerja) di
komunitasnya (suku/klan/marga) terhadap cara berpikir dan bertindak. Sedangkan
faktor eksternal dipengaruhi oleh interaksi dengan suku/bangsa lain. Alua 2017
mencatat ada masyarakat yang mendiami Papua berinteraksi dengan spanyol pada
abad ke-17 kemudian dengan Belanda pada abad ke -19 kemudian dengan Indonesia
pada adab ke-20. Interaksi ini juga mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi
di masyarakat, kemudian berdampak pada peran kerja dalam komunitas yang
berakibat pada peran gender dalam tatanan masyarakat asli Papua.
Pada abad ke 16 awal dari
perkembangan kapitalisme/industrilisasi di Eropa baru dimulai. Aktivitas
perdagangan yang selalu menginginkan bahan mentah baru, dan keinginan untuk
mengasai pasar dunia saat itu, sehingga kerajaan-kerajaan di Eropa saat itu
mengirimkan pasukan (tim) untuk mengarungi lautan. Tujuan dari mengarungi
lautan adalah mendapatkan tempat-tempat baru yang bisa dijadikan tempat untuk
memperoleh komoditi (barang jual) yang baru atau yang dibutuhkan pasar saat
itu. Hal ini yang menyebabkan tim dari Spanyol tiba di Papua, namun interaksi
mereka tidak menyeluruh di seluruh wilayah Papua, kebanyakan Spanyol
berinteraksi dengan komunitas/suku yang hidup dekat dengan laut.
Pada abad ke-19 Belanda mulai
menduduki Papua dari wilayah barat, pendekatan yang dilakukan oleh Belanda adalah
keagamaan dan pendidikan. Pendekatan ini menyebar ke setiap komunitas/suku yang
ada di Papua. Perlahan pendidikan adat, digantikan dengan pendidikan model
Belanda. Hal berdampak pada peran Perempuan Papua. Perempuan yang memiliki
hubungan produksi dengan alam, perlahan mulai diajarkan untuk bekerja di
tempat-tempat yang disediakan Belanda. Perempuan yang biasanya melakukan
aktivitas spiritual dengan alam, kemudian harus melakukan aktivitas spiritual
di dalam ruang gereja. Perempuan juga dikonstruksi untuk berpakaian seperti
orang Belanda. Belanda juga melakukan transmigrasi dari wilayah nusantara
(Sabang-Ambonia) untuk mengajarkan Bahasa. Program ini bertujuan untuk
memudahkan konstruksi budaya melalui Bahasa yang sama, kemudian menyiapkan
tenaga-tenaga produktif yang siap diekploitasi.
Belanda perlahan menduduki
wilayah Papua dengan pola adminstrasinya, setelah itu Belanda melanjutkan
program pemetaan wilayah Papua, terbukti pada tahun 1930-an Belanda telah
membagi Papua menjadi tiga bagian, lalu terbukti hasil penelitian yang tentang
sumber daya alam (SDA) yang ada di gunung Nemangkawi pada tahun 1928. Belanda
dan beberapa kapital global juga mendirikan perusaahan minyak di Sorong sekitar
1930-an.
Pada abad ke-19 akitivitas kapitalisme semakin
maju, gerak modal dari Eropa dan Amerika Serikat terus berkembang khususnya ke
daerah-daerah yang Asia, Amerika selatan, Afrika dan Pasifik. Dampak yang
dialami oleh Perempuan Papua adalah kehilangan peran kerja bahkan terjadi beban
ganda dalam aktivitas domestik maupun publik.
Beban ganda yang dirasakan oleh
Perempuan Papua tercipta akibat adanya perubahan tatanan masyarakat. Misalnya:
Wilayah yang dijadikan tempat pusat administrasi Belanda, akan banyak
pekerja-pekerja yang akan kerja di perkantoran, aktivitas produksi yang
sehari-hari bercocok tanam, berburu, berternak dan meramu mengalami degradasi,
karena harus duduk berjam-jam di kantor. Perempuan yang sehari-hari di rumah
merawat anak, memasak dan pekerjaan domestik lainnya, harus keluar rumah dan
bekerja di pekantoran, namun ketika pulang ke rumah peran kerjanya di ranah
domestik tidak begitu saja hilang, perempuan akan kembali bekerja untuk
menjalankan aktivitas dalam keluarga inti.
Aktivitas beban ganda ini akan
berdampak pada kesehatan reproduksi dan produksi dari perempuan Papua.
[1] https://www.youtube.com/watch?v=rlfV5tb5qgc
(Jumpa pers di Youtube Petisi
Rakyat Papua pada 07 Januari 2021)
[2] https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-tahapankhusus.htm
[3] Die
Neue Zeit, 1914, 2 (B. 32), S. 909, Sept. 11, 1914; cf.
1915, 2, S. 107 et seq. (Catatan Lenin)
[4] Mas’oed, Mohtar. (1998). “Liberalisme dalam Ekonomi Politik
Internasional”. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
[5] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan
judul "Krisis Keuangan Global Kegagalan Sistem Ekonomi Kapitalis",
Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2008/10/15/21205712/krisis.keuangan.global.kegagalan.sistem.ekonomi.kapitalis.
[6]
ibid, hal 21
[7] Suatu
bentuk pemnagkasan dan penyeragaman regulasi untuk menghilangkan segala
persoalan hambatan dan mempercepat proses pembangunan dalam kerangka MP3EI.
Safitri Hilma, Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), ARCbooksseptember 2014.
[8] https://ekon.go.id/publikasi/detail/159/bi-luncurkan-5-kebijakan-untuk-menjaga-stabilitas-rupiah-di-tengah-volatilitas-pasar-keuangan
Tidak ada komentar