Breaking News

4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Papua Versi Cinta





[1]Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan norma International yang lahir sejak dibentukanya magna carta dan diakui secara International pasca perang dunia ke – II atau lebih kongkritnya lahir bersamaan dengan lahirnya Perserikatan bangsa –bangsa.
Setiap manusia dimuka bumi ini tanpa terkecuali memiliki HAM, dan itu wajib dijamin oleh Negara. Dan dikontrol secara international, bagi negara-negara yang tergabung didalam PBB. Maka , Manusia papua secara khusus memiliki HAM , namun kenyataannya mulai dari 1961 saat Negara Indonesia mulai ingin menduduki Tanah Papua, terjadi pelanggaran HAM besar-besaran melalui Daerah operasi militer (DOM) serta penghilangan paksa tokoh-tokoh papua dengan tujuan Pembukaman ruang demokrasi.
Pelanggaran HAM ada dua jenis , Yaitu pelanggran HAM berat dan Pelanggaran HAM biasa.
Pelanggaran HAM berat Kejahatan Manusia dan Pembasmian suku/ras (genoside).
Kejahatan Manusia pun meliputi niat, rencana, perintah tindakan yang difasilitasi negara untuk membuat kejahatan kemanusian.
Berikut empat Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara di Papua:


1.  Kasus Biak berdarah 1998-1999


Peristiwa Biak Berdarah 6/7/1998, meninggalkan luka batin bagi korban dan keluarga korban, sementara pelaku dibenarkan oleh Negara dan tak perna disidangkan.
Doc. Tower Air Byak , Demonstrasi Masa 1998
Kasus kekerasan terjadi di biak 6 Juli 1998, saat masyarakat melakukan aksi menuntut kemerdekaan Papua, di Tower Air, Biak. Aksi tersebut dilakukan dari tanggal 2 juli sampai dengan 6 juli 1998. Masyarakat dengan penuh semangat melakukan aksi besar-besaran tersebut, dan menaikan bendera di Tower Air. Jumlah masa aksi yang diprediksikan berjumlah 100 orang lebih tersebut, membakar jiwa kesemangatan mereka untuk tetap bertahan. Aksi selama 4 hari itu, kemudian dibubarkan paksa oleh militer gabungan, baik TNI AL, TNI AU dan TNI AD bersama Polri.
Aksi pembubaran paksa diikuti dengan rentetan tembakan yang membabibuta, menyebabkan banyak rakyat yang ditembak, disiksa dan dihilangkan secara paksa hak hidup mereka.  Menurut koordinator Berjuang Untuk Kebenaran (BUK), Peneas Lokbere, saat kegiatan diskusi mengenang korban kekerasan dalam kasus Biak Berdarah, di Kontras sore tadi, Sabtu, 6 Juli 2013, pukul 17.00, menegaskan “dalam kasus tersebut, 8 orang tewas; 37 orang ditangkap dan disiksa kemudian diselkan, termaksud Pak Fhilep Karma; 150 orang luka berat, 3 orang hilang (Penghilangan Paksa); 32 mayat misterius ditemukan di perairan PNG, yang saat itu, isu dikembangkan adalah korban bencana Aceh, pada hal, itu korban kekerasan Negara di Biak.”
Menurut Peneas, kami melakukan Diskusi saat ini, sebagai peringatan akan peristiwa kekerasan tersebut. Lanjut Peneas, kegiatan memperingati kekerasan di Biak 6 Juli 1998 tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi juga dilakukan di Papua dan di Sydney.
Terkait kasus tersebut, penias meminta Negara harus mengaku telah melakukan pembunuhan dan meminta maaf pada korban dan keluarga korban.
Kekerasan yang dilakukan aparat saat itu, tidak hanya pada rakyat sipil asli Papua, namun kekerasan tersebut juga dilakukan terhadap pemilik toko-toko yang pada saat itu memberikan bantuan air kepada massa aksi. Sementara korban penyiksaan di suruh jalan merayap dengan dada, kemudian dipukul pakai laras senjata dan ditendang, yang mengakibatkan luka parah pada korban. Banyak rakyat disiksa dan dibunuh, namun pelakunya tidak diberi sanksi atau pun hukuman, sehingga pelaku merasa perbuatannya selalu benar.

2.    Kasus Wamena berdarah I 1999-2000
Tragedi Berdarah Wamena
30 Korban Tewas Dan 40 Luka Parah
7 Okt 2000 20:33:46 WIB
Tragedi berdarah di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya. sejak Jumat (6/10) hingga Sabtu (7/10) siang telah mengakibatkan 30 warga tewas dan 40 orang lainnya mengalami luka parah dan luka ringan, sementara situasi masih tegang. Demikian dilaporkan Aparat Satgas Papua dari Sentani, Jayapura, Irian Jaya, Sabtu (7/10) malam.
Seperti dilaporkan TEMPO Interaktif sebelumnya, peristiwa itu bermula ketika aparat keamanan dari Brimob dan Kostrad memaksa penurunan bendera Papua [2]"Bintang Kejora" Jumat (6/10) sekitar pukul 07.00 WIT. Tindakan itu tidak diterima Satgas Papua. Akibatnya kemudian, terjadi bentrokan antara Satgas Papua dan Brimob serta Kostrad. Korban tewas umumnya karena terkena peluru, selain akibat anak panah, tombak kayu, mencado (kampak) dan parang. Bertambahnya korban penduduk sipil non-Papua itu ketika terjadi bentrok antara aparat keamanan dan Satgas di Desa Woma, sekitar lima kilometer dari kota Wamena. Puluhan korban itu tidak termasuk tiga anggota Polres Jayawijaya dan Brimob Polda Irja yang mengalami luka berat terkena panah, dan kini dirawat di RSUP Jayapura.
Para korban yang tewas dan menderita luka parah itu kini dievakuasi di RSU Wamena di samping Bandara Wamena. Kepala RSU Wamena, dr. Siwi Murniati, seperti dikutip Antara mengatakan, semua korban meninggal masih berada di RS dan menunggu keputusan aparat keamanan untuk pemakamannya. Kemungkinan, menurut dia, akan dikuburkan secara massal. Saat ini, kata dr. Siwi, paramedis dan medis di rumah sakitnya ketakutan karena tidak ada jaminan dari aparat keamanan sehingga ada tenaga medis dan paramedis yang diterbangkan ke Jayapura dan Merauke hari ini. "Bila tidak ada jaminan keamanan, kami akan meninggalkan tugas untuk menyelamatkan diri," katanya.
Kapolres Jayawijaya, Superintendent D. Suripatty, hingga saat berita ini dilaporkan koresponden TEMPO Interaktif di Jayapura belum mau memberikan keterangan resmi soal tragedi berdarah itu. Suripatty hanya membenarkan, bahwa hingga saat ini pihaknya telah menahan dan memeriksa 59 orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan tersebut. Sementara itu, satu kompi Satuan Brimob Polda Irja, Sabtu pagi dengan menggunakan pesawat Hercules TNI-AD tiba di Wamena dari Jayapura untuk membantu pengamanan.
Semua sekolah, dari SD sampai SMU, sejak jumat diliburkan secara massal untuk menghindari dampak lanjutan dari bentrokan antara aparat keamanan dan Satgas Papua. Situasi Wamena dilaporkan sangat tegang, dan aktifitas penduduk mati total. Ribuan warga yang ketakutan kini ditampung diberbagai barak instalasi milik TNI dan Polri menunggu evakuasi keluar Wamena. (TEMPO Interaktif, Kristian Ansaka)

3.    Kasus Pembunuhan Theys Elluay 2001
Pada malam sebelum Theys hilang, dia pada pukul 22.00 terlihat meninggalkan
Doc. Jenazah Dortheyis Eluay Pada 2001
Markas Kopassus Jayapura, tempat perayaan Hari Pahlawan Nasional. Pada saat bersamaan, tujuh orang berompi biru tua juga meninggalkan tempat itu.
Ketika berada di tikungan Entrop, Skyland, Jayapura, Theys dan sopirnya, Ari Masoka dicegat sejumlah orang yang mengendari mobil Toyota Kijang. Ari sempat melarikan diri ke Markas Kopassus namun setelah itu dia hilang sampai sekarang, sedangkan Theys ditemukan tewas tidak wajar dalam mobilnya di Km 9 Desa Koya, Abepura, 11 November 2001.
Menurut penyidikan Jenderal I Made Mangku Pastika, yang juga memimpin penyidikan peristiwa Bom Bali 2002, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Beberapa anggotanya, antara lain Letkol Hartomo, dipecat secara tidak terhormat. Dunia Internasional mengecam pembunuhan Eluay ini.
4.    Kasus Penghilangan Aristoteles Masoka 2001
Bila investigasi pembunuhan Theys Eluay berakhir dengan dihukumnya tujuh orang
Doc. Aristoteles Masoka
anggota Kopassus di pengadilan militer, hilangnya Aristoteles Masoka – yang mestinya bisa menjadi saksi kunci dalam pengadilan pembunuhan Theys tersebut – belum pernah diselidiki.
Kala itu sebagai seorang pemuda belia Aristoteles baru memulai kuliahnya di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Dalam usia 21 tahun, kuliahnya baru memasuki semester kedua saat ia hilang, meninggalkan tiga adik laki-laki dan perempuan. Sepuluh tahun telah berlalu namun keluarga dan teman-teman  Aristoteles Masoka masih terus bertanya “Dimana Aristoteles? Dan kenapa kasusnya tak pernah diselidiki?”
Ferry Marisan dari Elsham Papua, yang saat itu melakukan investigasi awal atas kasus tersebut  di tahun 2001, mengatakan bahwa minimnya penyelidikan atau upaya untuk mendakwa Kopassus atas hilangnya Aristoteles, merupakan hal yang sulit dipahami. “Pihak polisi amat sadar tentang hilangnya Aristoteles, dan ada cukup  saksi, “ kata Marisan. “Sejumlah orang menyaksikan dia diseret ke dalam markas Kopassus. Kenapa susah sekali kasus ini dibawa ke pengadilan?”
Kasus ini telah dilaporkan ke KOMNAS HAM tahun 2003 namun upaya-upaya selanjutnya untuk mendapatkan keadilan yang dilakukan oleh keluarga Aristoteles maupun sejumlah LSM yang memperjuangkan kasus ini, seperti Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), selalu  menemui jalan buntu.


Masih banyak kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang belum dilaporkan dan ditetapkan sejak Trikora 1961-1999


[1] Emanuel gobay , perjuangan Hak Menentukan Nasib sensiri bagi bangsa papua melalui kemerdekaan menyampaikan pendapat merupakan Hak konstitusional
[2] Bendera bintang kejora adalah salah satu simbol perjuangan rakyat papua dalam menentukan nasib sendiri

1 komentar: