Perempuan Papua dalam Pagar : Kolonialisme dan Kapitalisme
bagian III
Belajar dari Film Dokumenter
.
SUARA MAMA FIN
karya Papuan Voices
dok: Aksi Protes AMP
“Saya minta kepada pemerintah tidak menggunakan
kacamata kuda, pemerintah harus perhatikan adik-adik di jalanan, karena
adik-adik butuh perhatian pemerintah supaya pemerintah sediakan lapangan
pekerjaan"[1].
Pernyataan ini diungkapkan oleh mama Fin bentuk saran kepada pemerintah yang
mengabaikan hak-hak pekerja seks komersial di Papua”.
Saran mama Fin merupakan ungkapan kekesalan terhadap
diskriminasi dan kekerasan yang kerap terjadi terhadap pekerja seks komersial
(PSK). Pekerja seks komersial di dalam tatanan masyarakat direndahkan dan
diabaikan keberadaannya, meskipun keberadaan mereka sebagai bentuk dari pertahanan
diri terhadap penyikiran paksa dari lingkungan hidupnya. Keadaan ini tidak
terlepas dari kondisi masrakat papua yang terjebak dalam cengkraman penjajahan
Indonesia, dan cengkaram kapital.
Perempuan : Papua di masa
kolonialisme
Perempuan di masa kolonialisme dibagi menjadi dua
yakni kolonialisme Belanda (1800-an hingga 1960-an) dan kolonialisme Indonesia
(1960-an – kini). Kolonial tentu memberikan dampak terhadap rakyat yang
dijajah, kolonial juga membawa budaya-budaya menindas untuk memecah belah persatuan
rakyat. Situasi rakyat Papua saat ini tidak bisa disamakan dengan masa sebelum
kolonialisme. Kolonialisme dihadirkan
sebagai pelengkap dari sistem perdagangan yang memberikan keuntungan bagi
individu atau kelompok tertentu atau sekarang kita kenal dengan sebutan
kapitalisme. Kapitalisme tidak lahir begitu saja, kapitalisme lahir sebagai
bentuk dari keserakahan manusia untuk menguasai sumber daya alam atau manusia, Tujuan
keserakahan ini untuk memberikan keuntungan bagi kapital tersebut.
Masyarakat Papua di masa kolonialisme Belanda memang
memberikan kesan yang baik bagi beberapa suku di Papua, misalnya suku-suku di
wilayah pesisir, hal ini karena Belanda menjelajahi Papua dengan transportasi
laut. Belanda juga menggunakan pendekatan kerohanian (agama samawi) dengan
tujuan masyarakat Papua meninggalkan kehidupan tradisionalnya. Dampak dari
ditinggalkannya kehidupan tradisonal maka perlahan budaya-budaya baik yang
tumbuh bersama untuk keseimbangan suku atau komunitas masyarakat tersebut dihancurkan
sehingga budaya kolonial (penindas) akan mendominasi. Semakin besar dominasi
budaya penindas dikalangan masyarakat menimbulkan perpecahan antar masyarakat,
maka semakin rapuh persatuan rakyat. Persatuan rakyat yang rapuh memudahkan
melakukan ekplorasi sumber daya alam dan manusia, hal ini dibuktikan dengan
tercatat dari 1900-1940 telah dilakukan 140 ekplorasi di Papua.
Perempuan Papua: Mengapa ada
transmigrasi dan akibatnya?
Masyarakat di masa kolonial Indonesia menambah
kekerasan terhadap rakyat Papua. Kekerasan militerisme sejak 1961 masih
membekas di benak rakyat Papua. Kekerasan berbasis budaya, diskriminasi rasial,
agama, pendidikan, kesehatan dsb, hal ini tentu menjadikan rakyat Papua semakin
diabaikan, kekerasan militer membuat trauma tmendalam bagi masyarakat Papua
khususnya perempuan. Hal ini disebabkan militer Indonesia bukan hanya membunuh
tapi juga memperkosa perempuan Papua. Pola tersebut terus dilakukan hingga
kini. Tercatat pada Human Right Watch lebih dari 500.000 orang papua mati dalam
rentang waktu (1961-2004) di tangan miloter Indonesia. Data hanya sebagian yang
ditemukan, kekerasan militer juga menyebkan masyarakat Papua banyak yang pergi
meninggalkan wilayah Papua dan mencari suakan di negara-negara lain seperti :
Belanda, Papua Nugini, negara-negara di kepulauan Pasifik, Amerika serikat dan
Australia.
Hegemoni kolonial Indonesia terus digencarkan dengan
pengiriman transmigrasi dari wilayah-wilayah padat penduduk di Indonesia.
Program itu bertujuan untuk membangun pertanian di wilayah Papua. Kenyatannya
orang Papua telah mengenal pertanian, namun disingkirkan melalui program
tranmigrasi.
Program transmigrasi setelah aneksasi Papua menjadi
Indonesia (1 Mei 1963) bertujuan untuk memperkuat eksistensi orang Indonesia di
Papua. Meskipun hal ini dilakukan tanpa izin masyarakat Papua., yang memiliki
ha katas semua wilayah Papua. Memalui transmigrasi, negara memiliki tujuan
untuk menciptakan mengorbankan rakyat Indonesia untuk berseteru dengan rakyat
Papua. Sehingga rakyat tidak sadar bahwa negaralah mencoba mengadu domba
sesamanya. Tranmigrasi diberikan tanah gratis dan ada juga yang disewakan,
biaya sewa diberikan kepada pemerintah rezim Soeharto. Tanah gratis dan akses
yang dimudahkan ditujukan dengan ada istilah tempat di Papua yang diberi nama
Satuan Pemukiman (SP). SP banyak ditemukan didaerah Merauke, Timika, Nabire,
dsb. Sedangkan di Jayapura tanah yang diberikan adalah di daerah Arso.
Masyarakat Papua menyebutkan perempuan adalah tanah.
Hal ini terbentuk dari sosial-budaya masyarat rakyat Papua itu sendiri. Hal ini
membuat perempuan memiliki peran untuk berkebun atau mengurusi tungku api
(dapur). Kondisi perempuan semakin lemah ketika adanya interaksi dengan suku
lain di Papua muapun bangsa lain. Interaksi ini sangat memungkinkan adanya
perubahan-perubahan sosial masyarakat. Apalagi ketika Papua di zaman
pemerintahan kolonial Belanda dan Indonesia, peran perempuan Papua semakin
terpinggirkan.
Perempuan Papua di Era
Kapitalisme
Era kapitalisme adalah masa yang mengharuskan setiap
orang untuk bersaing untuk mendapatakan kebutuhan primer ataupun kebutuhan
sekunder. Persaingan ini akan membentuk sikap individualistik dari masyarakat
itu sendiri. Keluarga inti menjadi salah satu bukti nyata bahwa terbentuk
kelompok-kelompok kecil lagi dalam lingkungan masyarakat. Hal ini membuat
setiap orang atau keluarga harus memenuhi kebutuhan dirinya sendiri atau
keluarganya. Namun, akan bertolak belakang dengan kondisi Papua, yang mana
transmigrasi dan program-program pembangunan, yang membuat orang Papua dengan
kemampuan minim untuk dapat mengakses pekerjaan-pekerjaan dengan upah yang
besar, kecuali dengan menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS) atau Birokrat (DPR, MRP,
GUBERNUR, BUPATI, MPR dsb). Akses pekerjaan menjadi sangat susah bagi perempuan
Papua karena dalam sistem pemerintahan dan sosial –budaya dominasi laki-laki
menjadi penting dalam hal kepemimpinan dan pekerjaan di kantor. Bahkan negara
sengaja melakukan propaganda tersebut.
Maka, perempuan Papua yang tidak memiliki akses ke tanah, perempuan juga yang
tidak memiliki akses ke pendidikan, sebagai wujud pertahanan dirinya adalah
menjadi pekerja seks komersial (PSK). PSK dianggap hal yang dilarang karena PSK
tidak akan menghasilkan keturunan/ anak untuk kebutuhan pekerja. Dalam film
tersebut mama fin meminta kepada pemerintah untuk tidak menggunakan kacamata
kuda dalam melihat persoalan ini, akan sulit berharap kepada pemerintah Papua
atau Jakarta karena Papua adalah daerah koloni Indonesia, sehingga tidak akan
direalisasikan permintaan tersebut.
apa yang harus dilakukan?
Yang dibutuhkan saat ini adalah persatuan rakyat itu
sendiri. PSK, perempuan, dan yang memiliki orientasi seksual berbeda adalah
manusia, maka perlu bersama melawan Kapitalisme namun untuk mengurangi beban
tersebut kita perlu bersama bersatu melawan kolonialisme Indonesia.
Tidak ada komentar